KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah Subhanahu
wa Ta’ala atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita semua
termasuk terselesaikannya makalah Puasa ini.
Makalah ini mengambil tema Puasa, sebagaimana
amanat yang diberikan kepada kami di dalam memenuhi tugas mata kuliah Fiqih I.
Sebuah penghargaan bagi kami atas diberikannya tugas ini,
karena dengan begitu kita akan dapat mengkaji kembali tentang hal-hal yang
berkaitan dengan Puasa yang pasti
akan bermanfaat menambah keilmuan dan pengetahuan akademis kita serta modal
dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam
kesempatan ini perkenankan kami menghaturkan rasa terima kasih tak terhingga
kepada Bapak Ali Taman Saputra yang telah membimbing kami. Pun begitu, kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu sumbang-saran
maupun masukan sangat kami harapkan. Atas segala kekurangan tersebut, kami mohon
dibukakan pintu maaf seluas-luasnya.
Demikian
dari kami, semoga segala tujuan baik dengan hadirnya makalah ini dapat tercapai.
Amiin.
A. Pengertian,
Hukum dan Fardhunya Puasa
1. Definisi
Puasa menurut bahasa adalah menahan.
Sedangkan menurut istilah / syari’at adalah menahan dengan niat ibadah dari
makanan, minuman, hubungan suami istri dan semua hal yang membatalkan puasa
sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
2. Hukum
Puasa
Ditinjau dari hukumnya
puasa terbagi menjadi puasa wajib dan
puasa sunnah. Puasa wajib adalah puasa yang dilaksanakan pada bulan ramadhan.
Yang merupakan salah satu dari rukun
islam dan salah satu fardhu dari sekian banyak fardhu.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang – orang sebelum
kamu, agar kamu bertakwa.” ( QS Al Baqarah 183).
“(Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan ramadhan
yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an sebaga’i petunjuk bagi manusia dan
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda ( antara yang haq dan yang
bathil). Karena itu barang siapa diantara kamu ada di bulan itu , maka
berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa )
maka (wajib menggantinya, sebanyak hari yang di tinggalkannya itu, pada hari –
hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangan dan mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang di berikan kepadamu, agar kamu bersyukur.”
( QS Al Baqarah 184-185).
Hal ini juga dijelaskan
oleh hadist berikut, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
بُنِيَ الْإِسْلَامُ
عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ
اللَّهِ
وَإِقَامِ الصَّلَاةِ
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Dari
Ibnu Umar Radhiyallaahu 'anhu,
bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: “ Islam di tegakan diatas
lima perkara, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah, Mendirikan Shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke
Baitullah dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR Bukhari-Muslim).
Adapun puasa sunnah adalah puasa yang dilaksanakan
di luar bulan ramadhan di hari-hari yang telah di contohkan Rasulullah
Sallallahu Alaihi Wasalam yang insyaAllah akan dipaparkan di depan.
3. Rukun
Puasa
a. Niat
Niat adalah keinginan dalam hati untuk berpuasa
karena ingin menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendekat
kepada-Nya. Hal ini berdasarkan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan tidaklah mereka di perintah kecualii supaya
beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan Kepada-Nya (dalam menjalakan)
agama yang lurus.” (QS-Al Bayinah 5).
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “sesungguhnya
segala amal tergantung pada niat dan
sesungguhnya setiap orang hanya akann mendapat apa yang tlah diniatkan.” (
HR Bukhari , Muslim, Trmidzi, Ibnu Majah & Nasa’i).
Jika melaksanakan puasa wajib, maka niat wajib
dilakukan pada waktu sebelum fajar. Berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam :
“Dari Hafshah, telah
Bersabda Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam: Barang siapa yang nenetapkan niat
puasa sebelum fajar, maka tiada puasa baginya.”
(HR Tirmidzi & Nasa’i)
Adapun jika melaksanakan puasa sunnah, maka sah
berniat setelah terbit fajar dan matahari telah meninggi. Dengan syarat belum
memakan apapun. Berdasarkan dalil dari Aisyah Radhiyallaahu 'anha.
“Aisyah Radhiyallaahu 'anha berkata bahwa suatu hari
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam ke rumah, kemudian bersabda : “Apakah engkau
mempunyai makanan?” Aku menjawab “Tidak” Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa Sallam bersabda “kalau begitu Aku
puasa.” ( HR Muslim).
b. Menahan
Diri
Yaitu menahan diri dari hal - hal yang membatalkan
puasa seperti: makan, minum dan hubungan suami istri dari terbit fajar sampai
terbenam matahari.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“…. maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa
yang telah di tetapkan Allah untukmu dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai datang malam….” (QS Al-Baqarah 187)
Batas awal waktu menahan diri adalalah setelah
fajar, berdasarkan dalil sbb:
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “makan
dan minumlah sampai Ibnu Umu Maktum menyeru. Sesungguhnya dia tidak menyeru
hingga terbit fajar.” (HR Bukhari dan Ibnu Majah)
Adapun bagi mereka yang mengatakan batas imsak
adalah sebelum fajar hanya sebagai tindakan
kehati-hatian.
Sedangkan batas akhir waktu menahan diri adalah
datangnya waktu malam (terbenam matahari). Berdasarkan firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
“… Lalu sempurnakan puasa puasa hingga tiba waktu
malam…” (QS Al-Baqarah 187).
B. Macam-macam Puasa Sunnah
Adapun macam macam puasa yang disunnahkan
oleh Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam berdasarkan dalil yang shahih adalah sebagai
berikut:
1. Puasa Hari Arafah
Puasa arafah di sunnahkan bagi selain
orang yang berhaji yang dilaksanakan tanggal 9 Dzulhijjah, karena Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Puasa hari arafah itu menghapus dosa
dua tahun, setahun yang silam dan setahun yang akan datang. Dan puasa asyura
itu menghapus dosa setahun sebelumnya.” (HR Muslim).
2. Puasa Tasu’a dan Puasa Asyura
Yaitu puasa yang di laksanakan pada
tanggal 9 & 10 muharram. Berdasarkan hadits:
“… jika sampai pada tahun depan Insya
Allah kita puasa Tasu’a
3.
Puasa 6 Hari di Bulan Syawal
Berdasarkan Sabda Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam:
“Barangsiapa berpuasa di bulan ramadhan
dan meneruskannya dengan (puasa) enam hari di bulan syawal, maka ia seperti
berpuasa sepanjang tahun.” (HR Muslim)
4.
Memperbanyak Puasa di bulan Sya’ban
Berdasarkan dalil dari aisyah .
Dari Aisyah Radhiyallaahu 'anha,
dia berkata. “Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
Sallam menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali pada bulan ramadhan. Dan aku
tidak pernah melihat Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memperbanyak puasa
di bulan-bulan lain seperti sya’ban.” (HR Bukhari-Muslim)
5. Memperbanyak Puasa Dibulan Muharram.
Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Puasa yang paling utama setelah bulan
ramadhan adalah bulan Allah Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah
shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR Muslim, Abu Daud,
Tirmidzi & Nasa’i)
6. Puasa Setiap Hari Senin Dan Kamis
Dari Usamah bin Zaid berkata.
Sesungguhnya Nabiyullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam puasa pada hari
senin dan kamis dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah
ditanya perihal puasa itu. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda: “Sesungguhnya segala awal seluruh hamba dipaparkan pada hari senin
dan kamis.” (HR. Abu Daud)
7. Puasa Tiga Hari Setiap Pertengahan Bulan
Dari Abdullah bin Amr berkata,
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam Bersabda: “Berpuasalah tiga
hari pada setiap bulan, karena sesungguhnya kebaikan di kalikan sepuluh,
sehingga puasa itu (puasa 3 hari) sama dengan puasa satu tahun penuh.” (HR Bukhari – Muslim)
Juga hadits dari Abu Dzar, dia berkata.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam Bersabda : “Wahai Abu Dzar
jika engkau berpuasa tiga hari dari setiap bulan, maka berpuasalah tanggal tiga
belas, empat belas, dan lima belas.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i)
8. Puasa Nabiyullah Dawud
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam
“Puasa yang paling di sukai di sisi
Allah adalah puasa Dawud, yaitu berpuasa sehari dan berbuka sehari.”
(HR Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majjah)
C. Perkara yang diharamkan, dimakruhkan dan
disunnahkan bagi orang yang berpuasa
1. Perkara yang diharamkan
a. Berpuasa
sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud ihtiyath (berjaga-jaga).
Hal ini menyelisihi hadist dari Abu Hurairah Radhiyallaahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan
berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan kecuali seorang yang biasa
berpuasa dengan suatu puasa sunnat maka hendaknyalah ia berpuasa.” (HR.
al-Bukhari dan Muslim)
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata: “Ini
menunjukkan haramnya berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam
rangka untuk ihtiyath (berjaga-jaga)”.
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hukum
berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan adalah haram apabila bukan
karena kebiasaan puasa sunnah”.
Maka disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari
sebelum Ramadhan dalam rangka ihtiyath, adapun kalau ia mempunyai
kebiasaan berpuasa seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud dan lain-lainnya lalu
bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan maka itu tidak apa-apa.
b. Mengkhususkan
ziarah kubur menjelang Ramadhan
Tidaklah tepat ada yang menyakini bahwa menjelang
bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat
(dikenal dengan “nyadran” atau “nyekar”). Kita boleh setiap saat
melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian.
Namun kesalahannya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu
tertentu dan menyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran
atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan, karena sama sekali tidak
ada dasarnya dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.
c. Padusan,
mandi besar atau keramasan menyambut Ramadhan
Tidaklah tepat amalan sebagian
orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar atau keramasan terlebih
dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi
Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam. Lebih parahnya lagi mandi
semacam ini (dikenal dengan “padusan”) ada juga yang melakukannya dengan
campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian umum. Ini sungguh
merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam.
Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan
murka Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Perkara
yang dimakruhkan
a. Membersihkan
Hidung, Menghirup Air, dan Berkumur-kumur berlebihan
Sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam kepada seorang sahabat
yang minta nashihat tentang wudlu:
“Sempurnakanlah wudlu,
selat-selati diantara jari-jari, dan dalam-dalamlah saat menghirup air ke
hidung kecuali engkau dalam keadaan shaum”. (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi, dan An-Nasai).
Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam juga bersabda,
وَبَالِغْ
فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمً
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air dalam
hidung) kecuali jika engkau berpuasa.” (HR. Abu Daud no. 142, Tirmidzi no.
788, An Nasa’i no. 87, Ibnu Majah no. 407, dari Laqith bin Shobroh. At Tirmidzi
mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits tersebut shahih.)
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun berkumur-kumur dan beristinsyaq
(memasukkan air dalam hidung) dibolehkan bagi orang yang berpuasa berdasarkan
kesepakatan para ulama. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat juga berkumur-kumur dan beristinsyaq
ketika berpuasa. Akan tetapi, dilarang untuk berlebih-lebihan ketika
itu.” (Majmu’ Al Fatawa, 25/266)
Juga tidak mengapa jika orang
yang berpuasa berkumur-kumur meski tidak karena wudhu dan mandi. (Shahih Fiqh
Sunnah, 2/112)
Jika masih ada sesuatu yang
basah –yang tersisa sesudah berkumur-kumur- di dalam mulut lalu tertelan tanpa
sengaja, seperti itu tidak membatalkan puasa karena sulit dihindari. Ibnu
Hajar rahimahullah mengatakan,
“Jika dikhawatirkan sehabis bersiwak terdapat sesuatu yang basah di dalam mulut
(seperti sesudah berkumur-kumur dan masih tersisa sesuatu yang basah di dalam
mulut), maka itu tidak membatalkan puasa walaupun sesuatu yang basah tadi ikut
tertelan.” (Fathul Bari, 4/159)
b. Menggosok gigi atau bersiwak
Seorang sahabat menerangkan
bahwa;
“Aku
melihat Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam
sedang menggosok gigi padahal ketika itu beliau sedang shaum” (HR. Bukhari)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ
“Seandainya tidak
memberatkan umatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk menyikat gigi
(bersiwak) setiap kali berwudhu.”
Imam Al Bukhari membawakan
hadits di atas (tanpa sanad) dalam judul Bab “Siwak basah dan kering bagi orang
yang berpuasa”. Judul bab ini mengisyaratkan bahwa Imam Al Bukhari ingin
menyanggah sebagian ulama (seperti ulama Malikiyah dan Asy Sya’bi) yang
memakruhkan untuk bersiwak ketika berpuasa dengan siwak basah. (Fathul
Bari, 4/158)
Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“Adapun siwak (ketika berpuasa) maka itu dibolehkan tanpa ada perselisihan di
antara para ulama. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat tentang
makruhnya hal itu jika dilakukan setelah waktu zawal (matahari tergelincir ke
barat). Ada dua pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dalam masalah ini. Namun
yang tepat, tidak ada dalil syari’i yang mengkhususkan bahwa hal tersebut
dimakruhkan. Padahal terdapat dalil-dalil umum yang membolehkan untuk bersiwak.” (Majmu’
Al Fatawa, 25/266.)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin mengatakan, “Yang benar adalah siwak dianjurkan bagi orang yang
berpuasa mulai dari awal hingga akhir siang.”( Majmu’ Fatwa wa Rosa’il
Ibnu ‘Utsaimin, 17/259.)
Dalil yang menunjukkan mengenai
keutamaan siwak adalah hadits ‘Aisyah. Dari ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Bersiwak itu akan membuat
mulut bersih dan diridhoi oleh Allah.”( HR. An Nasai no. 5 dan Ahmad
6/47. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)
Adapun menggunakan pasta gigi
ketika puasa lebih baik tidak digunakan ketika berpuasa karena pasta gigi
memiliki pengaruh sangat kuat hingga bisa mempengaruhi bagian dalam tubuh dan
kadang seseorang tidak merasakannya. Waktu untuk menyikat gigi sebenarnya masih
lapang. Jika seseorang mengakhirkan untuk menyikat gigi hingga waktu berbuka,
maka dia berarti telah menjaga diri dari perkara yang dapat merusak
puasanya.( Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 17/261-262.)
c. Banyak tidur dan melakukan perbuatan yang sia-sia
Ada di antara kaum Muslimin yang menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan
untuk tidur dan bermalas-malasan atau dengan melakukan perbuatan-perbuatan
sia-sia seperti main catur, kartu domino, nonton TV, bermain Game, mendengar musik
dan semacamnya, dengan dalih untuk menghilangkan kejenuhan sambil mengisi waktu
luang menunggu waktu berbuka puasa, padahal akan jauh lebih bermanfaat apabila
ia mengisi waktu lowong tersebut dengan membaca
al-Qur’an, mendengarkan kajian-kajian Islam atau membaca buku-buku agama.
Orang yang banyak melakukan tidur di bulan Ramadhan melandaskan
perbuatannya dengan sebuah hadits dha’if yaitu:
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dari Ibnu Umar Radhiyallaahu 'anhu dan al-Baihaqi dari ‘Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallaahu
'anhu. Hadist ini adalah dha’if.
d. Shalat tarawih dengan tergesa-gesa dan tidak tuma’ninah
(tenang)
Pada
pelaksanaan shalat tarawih di masjid-masjid sering kita saksikan imam shalat
melakukan shalat tarawih dengan tergesa-gesa, terlalu cepat dalam melaksanakan
shalat, tidak menyempurnakan sujud, ruku’, dan bacaan shalat lainnya. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Seburuk-buruk pencuri adalah pencuri di
dalam shalat, di mana ia tidak menyempurnakan ruku, sujud, dan kekhusyukannya.”
(HR. Ahmad)
Dan juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Tidak sah
shalat seseorang yang tulang punggungnya tidak lurus ketika melakukan ruku’ dan
sujud.”(HR. An-Nasai dan
At-Tarmidzi)
3. Perkara
yang disunnahkan bagi orang yang berpuasa
a. Makan sahur dengan mengakhirkannya.
Para ulama telah sepakat tentang sunnahnya sahur
untuk puasa. Meski demikian, tanpa sahur pun puasa tetap boleh.
Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً قَالَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
Dari Anas Radhiallahu
'anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Makan sahurlah kalian, karena (makan) di waktu sahur itu mengandung
barakah.". (HR
Bukhari dan Muslim)
Makan sahur itu menjadi
barakah karena salah satunya berfungsi untuk mempersiapkan tubuh yang tidak
akan menerima makan dan minum sehari penuh. Selain itu, meski secara langsung
tidak berkaitan dengan penguatan tubuh, tetapi sahur itu tetap sunnah dan
mengandung keberkahan. Misalnya buat mereka yang terlambat bangun hingga
mendekati waktu subuh. Tidak tersisa waktu kecuali beberapa menit saja. Maka
tetap disunnahkan sahur meski hanya dengan segelas air putih saja. Karena dalam
sahur itu ada barakah.
Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
السَّحُورُ
أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ
مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
وَمَلَائِكَتَهُ
يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ
Dari Abu Sa'id Al Khudri Radhiyallaahu 'anhu
berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "makan
sahur itu berkah, maka janganlah kalian tinggalkan meskipun salah seorang dari
kalian hanya minum seteguk air, karena sesungguhnya Allah 'azza wajalla dan
para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur."(HR.
Ahmad).
b. Menyegerakan berbuka
Disunnahkan dalam berbuka
puasa dengan menyegerakan dan tidak menunda-nundanya setelah terdengar adzan
sholat Maghrib. Sabda
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَنْ سَهْلِ بْنِ
سَعْدٍ
لَا يَزَالُ النَّاسُ
بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
Dari Sahal bin Sa'ad Radhiyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Senantiasa manusia berada dalam
kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka". (HR. Bukhari dan Muslim)
Disunnahkan membaca doa
yang matsur dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika berbuka
puasa. Karena doa orang yang berpuasa dan berbuka termasuk doa yang tidak tertolak.
رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ
وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam apabila berbuka beliau mengucapkan: DZAHABAZH ZHAMAA`U
WABTALLATIL 'URUUQU WA TSABATIL AJRU IN SYAA-ALLAAH (Telah hilang dahaga, dan
telah basah tenggorokan, dan telah tetap pahala insya Allah).(HR. Abu Dawud)
c. Memberi makan orang berbuka
Memberi makan saat
berbuka bagi orang yang berpuasa sangat dianjurkan karena balasannya sangat
besar sebesar pahala orang yang diberi makan itu tanpa dikurangi. Bahkan meski
hanya mampu member sebutir kurma atau seteguk air putih saja. Tapi yang lebih
utama bila dapat memberikan makanan yang cukup dan bisa mengenyangkan perut.
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ
الْجُهَنِيِّ قَالَ
مَنْ
فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ
الصَّائِمِ شَيْئًا
قَالَ
أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Dari
Zaid bin Khalid Al Juhani Radhiyallaahu 'anhu berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Barangsiapa yang memberi makan orang yang
berbuka, dia mendapatkan seperti pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi
pahala orang yang berpuasa sedikitpun" Abu 'Isa berkata; "Ini
merupakan hadits hasan shahih." (HR. At Tirmidzi)
d. Menjaga lidah dan anggota tubuh
Disunnahkan untuk
meninggalkan semua perkataan kotor dan keji serta perkataan yang membawa kepada
kefasikan dan kejahatan. Termasuk di dalamnya adalah ghibah (bergunjing),
namimah (mengadu domba), dusta dan kebohongan. Meski tidak sampai membatalkan
puasanya, namun pahalanya hilang di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan perbuatan itu sendiri hukumnya haram
baik dalam bulan Ramadhan ataupun di luar Ramadhan. Sabda Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam:
Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu 'anhu berkata,
“Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa
tidak meninggalkan perkataan bohong, melakukan kebohongan dan perbuatan bodoh,
maka Allah tidak memiliki keperluan (tidak akan menerima) apa yang dilakukan
seseorang dari menahan makan dan minum (puasa).” (HR. Al-Bukhari dan Abu
Dawud, dengan lafazh Abu Dawud).
e. Memperbanyak sedekah
Ibnu Rajab al Hambali Rohimahullah
juga membawakan sebuah hadits:
…. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam adalah manusia yang
paling dermawan, sedangkan pada bulan Ramadhan, ketika Jibril menemuinya,
beliau menjadi lebih dermawan lagi. Adapun Jibril selalu menemui beliau setiap
malam pada bulan Ramadhan untuk mengajarinya Al-Qur’an. Adalah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam, ketika Jibril menemuinya, lebih dermawan dari angin yang berhembus.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
f. Menyibukkan diri dengan ilmu dan tilawah
Hubungan antara Ramadhan
dan Al-Qur’an sangat kuat, ikatannya amat erat. Sebagaimana yang kita ketahui,
Al-Qur’an adalah kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengeluarkan umat ini dari
kegelapan menuju cahaya.
Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
“Puasa dan Al-Qur’an memberi syafaat kepada hamba
pada hari kiamat. Puasa berkata, ‘Wahai Robbku, aku telah menahannya dari makan
dan syahwat pada siang hari, maka berikanlah syafaat kepadaku untuknya.’
Al-Qur’an berkata, ‘Wahai Robbku, aku telah menahannya dari tidur di malam
hari, maka berikanlah syafaat kepadaku untuknya.’ Lantas keduanya memberi
syafaat kepada hamba tersebut.”(HR. Ahmad, dishahihkan al-Abani).
g. Shalat Tarawih
Sudah lazim diketahui bahwa shalat malam
pada bulan Ramadhan disebut dengan shalat tarawih. Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah
mengatakan , “Tarawih adalah bentuk jamak (plural) dari tarwihah, yaitu
bentuk kata yang bermakna satu kali dari kata rahah (istirahat), seperti
kata taslimah yang berasal dari kata salam. Shalat berjamaah pada
setiap bulan Ramadhan disebut shalat tarawih karena pada permulaannya, mereka
berkumpul untuk mengerjakannya, mereka beristirahat setiap dua kali salam.”
Pada suatu malam bulan Ramadhan,
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah keluar, lalu beliau Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam melihat orang-orang mengerjakan shalat di salah satu sudut
masjid. Beliau bertanya, ‘Apa yang mereka lakukan?’, seorang sahabat berkata,
“Wahai Rasulullah, mereka itu adalah orang-orang yang tidak memiliki hafalan
Al-Qur’an. Ubay bin Ka’ab membacakan kepada mereka dan ia menjadi imam dalam
shalat mereka.” Beliau bersabda, ‘Sungguh baik apa yang mereka lakukan.’ Atau
‘sungguh tepat apa yang mereka lakukan.’ Beliau tidak keberatan terhadap apa yang
telah mereka lakukan itu.” (HR. al-Baihaqi, dishahihkan al-Albani)
Anas bin
Malik Radhiyallaahu 'anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan di masjid.
Begitu aku dating, aku pun segera mengerjakan shalat disamping beliau. Kemudian
datang orang lain yang juga mengerjakan shalat hingga jumlah kami menjadi
banyak. Begitu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyadari keberadaan
kami di belakang beliau, beliau lantas memperingan shalat. Kemudian, beliau
masuk ke dalam rumahnya dan mengerjakan shalat yang tidak beliau kerjakan
bersama kami.”
Anas bin
Malik Radhiyallaahu 'anhu berkata, “Pada pagi harinya, kami bertanya,
‘Apakah Anda menyadari keberadaan kami tadi malam?’ Beliau menjawab: “Ya,
Itulah yang menyebabkan aku melakukan apa yang telah aku lakukan.”(HR.
Muslim).
g. I’tikaf dan Mencari Lailatul Qadar
I’tikaf
Ramadhan adalah kesempatan terbaik bagi orang yang ingin mendapatkan
kebahagiaan sejati. Karena di dalamnya terdapat berbagai macam hadiah yang
telah disimpan untuk para hamba, tepat pada sepuluh hari terakhir di bulan
Ramadhan.
I’tikaf
hukumnya sunnah muakkad. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
melakukannya secara rutin dalam kehidupan beliau setelah hijrah ke Madinah
al-Munawwarah. I’tikaf yang dihidupkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam itu pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan dan kurun waktunya
terbatas antara Sembilan sampai sepuluh hari.
Abu Hurairah Radhiyallaahu
'anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda : “(Waktu datangnya) Lailatul Qadar diperlihatkan kepadaku.
Kemudian salah seorang keluargaku telah membuyarkan konsentrasiku, (sehingga)
aku pun lupa darinya, maka carilah ia pada sepuluh (malam) terakhir.” (HR.
Muslim)
Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam telah berusaha keras pada sepuluh hari terakhir ini,
sesuatu yang tidak beliau lakukan pada waktu-waktu yang lainnya, dan beliau
melakukan i’tikaf untuk mencari malam itu. Beliau melakukannya secara
berkesinambungan untuk menggapai malam itu. Oleh sebab itu, marilah kita raih
apa yang terluputkan dari kita selama ini dengan memanfaatkan sebaik mungkin
malam Lailatul Qadar. Malam yang ketika itu Allah Subhanahu
wa Ta’ala menerima taubat dari setiap orang yang bertaubat.
Pada malam itu ditetapkan apa yang akan terjadi pada setahun ke depan berupa
kematian, hidup, rezeki dan hujan.
D. Pembatal-Pembatal
Puasa
1. Makan minum secara sengaja.
Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى النَّبِيِّ عَنْ عَنْهُ اللَّهُ رَضِيَ هُرَيْرَةَ أَبِي عَنْ
وَسَقَاهُ اللَّهُ أَطْعَمَهُ فَإِنَّمَا صَوْمَهُ فَلْيُتِمَّ وَشَرِبَ فَأَكَلَ نَسِيَ إِذَا قَالَ
Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu
'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, “Barangsiapa lupa bahwa ia sedang berpuasa,
lalu ia makan dan minum, hendaklah ia meneruskan puasanya, karena sesungguhnya
ia telah diberi makan dan minum oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
كَفَّارَة وَلاَ عَلَيْهِ قَضَاء فَلاَ نَاسِيًا رَمَضَانَ شَهْرِ فِيْ أَفْطَرَ
مَنْ
“Siapa
yang berbuka di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada kewajiban mengqadha’
dan tidak ada kewajiban kafarat.(HR. Ibnu Hibban , Ad Daraquthni, dan Ibnu
Khuzaimah).
Hadist di atas menunjukkan bahwa seseorang yang
lupa lalu ia makan, minum saat ia berpuasa maka puasanya tidak batal,
berdasarkan ungkapan beliau, “…maka hendaklah ia meneruskan puasanya…” yang
berarti ia masih berpuasa, demikianlah pendapat jumhur ulama, Zaid bin Ali,
Al-Baqir, Ahmad bin Isa, Imam Yahya dan dua golongan.
Sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa
puasanya batal, karena menahan diri dari segala yang membatalkan merupakan
rukun puasa, maka hukumnya seperti orang yang lupa melakukan salah satu rukun
dari rukun-rukun shalat, orang tersebut harus mengulangi shalatnya walaupun hal
itu terjadi karena lupa, sedangkan sabda beliau, “…maka hendaklah orang
tersebut meneruskan puasanya…” yakni hendaklah orang tersebut meneruskan
usahanya dalam menahan diri dari segala yang membatalkan.
Pendapat ini dibantah, bahwasanya sabda beliau, “…maka
tidak wajib baginya qadha’ maupun kafarat.” Jelas menyebutkan bahwa
puasanya sah dan tidak wajib diqadha’. Ad-Daruquthni juga telah meriwayatkan
tidak wajibnya qadha’ ini dari Abu Rafi’, Said Al-Maqbari, Al-Walid bin
Abdurrahman dan Atha bin Yasar yang semuanya dari Abu Hurairah. Beberapa orang
sahabat juga menfatwakan hal tersebut di antaranya Ali, Zaid bin Tsabit, Abu
Hurairah dan Ibnu Umar, sebagaimana yang dilansir oleh Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu
Hazm.
2. Hubungan Suami Istri
Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata,
ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata: “Wahai, Rasulullah, celaka !” Beliau
menjawab,”Ada apa denganmu?” Dia
berkata,”Aku berhubungan dengan istriku,
padahal aku sedang berpuasa.” (Dalam riwayat lain berbunyi : aku berhubungan dengan istriku di bulan
Ramadhan). Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Apakah kamu mempunyai budak untuk
dimerdekakan?” Dia menjawab,”Tidak!” Lalu
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata
lagi,”Mampukah kamu berpuasa dua bulan
berturut-turut?” Dia menjawab,”Tidak.”
Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam bertanya lagi : “Mampukah kamu
memberi makan enam puluh orang miskin?” Dia menjawab,”Tidak.” Lalu Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini,
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi
satu ‘irq berisi kurma –Al irq adalah
alat takaran- (maka) Beliau berkata:
“Mana orang yang bertanya tadi?” Dia menjawab,”Saya orangnya.” Beliau berkata lagi: “Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!” Kemudian orang
tersebut berkata: “Apakah kepada orang
yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung
kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku”. Maka
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa
sampai tampak gigi taringnya, kemudian (Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam)
berkata: “Berilah makan keluargamu!”.
(HR. Bukhari)
Hadist ini menunjukkan wajibnya kafarat bagi orang
yang berjima’ dengan sengaja pada siang hari di bulan Ramadhan. An-Nawawi
mengatakan bahwa hukum ini adalah ijma’ ulama, baik orang tersebut kaya atau
miskin. Salah satu pendapat Asy-Syafi’I mengatakan, bahwa jika orang tersebut
dalam keadaan miskin maka kewajiban tersebut berada di dalam tanggungannya
–hingga ia mampu-, sedangkan pendapat keduanya ialah bahwa kewajiban tersebut
lepas dari tanggungjawabnya, karena dalam kisah tersebut Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam tidak menjelaskan kalau orang tersebut masih menanggung
kafarat.
Zhahir hadist ini mengisyaratkan bahwa kafarat
tersebut dipilih secara berurutan, maka tidak diperbolehkan memilih nomor kedua
jika mampu melaksanakan nomor pertama, dan tidak boleh memilih nomor ketiga
jika mampu melaksanakan nomor kedua, karena kafarat ini disebutkan berurutan
didalam riwayat Ash-Shahihain.
Menurut pendapat Asy-Syafi’I dan didukung oleh
Al-Auza’I bahwa hukum di atas adalah hukum yang berkaitan dengan pihak suami,
sedangkan pihak istri yang telah dijima’, berdasarkan hadist di atas tidak
wajib atasnya kafarat, karena dari peristiwa tersebut hanya wajib satu kafarah
yang tidak wajib atas istri.
Namun jumhur ulama berpendapat bahwa kafarat tersebut wajib atas istri
juga, mereka mengatakan bahwa di dalam hadist tersebut Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam tidak menyebutkannya karena ia tidak ikut memberikan
pengakuan, dan pengakuan suami tidak bisa menjatuhkan hukuman kepada istrinya,
atau bisa jadi istri tersebut dalam keadaan tidak puasa karena mungkin saja ia
baru saja suci dari haid setelah terbit fajar, atau karena keterangan hukum
untuk suami sudah cukup mewakili sebagai keterangan hukum untuk istri
berdasarkan kebiasaan yang diketahui dalam penyamarataan hukum, yang mana
kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengetahui kesulitan
istri tersebut melalui kondisi suaminya.
3. Sengaja Muntah
Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
يَقُولُ كَانَ أَنَّهُ عُمَرَ بْنِ اللَّهِ عَبْدِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ مَالِك عَنْ حَدَّثَنِي و
الْقَضَاءُ عَلَيْهِ فَلَيْسَ الْقَيْءُ ذَرَعَهُ وَمَنْ الْقَضَاءُ فَعَلَيْهِ صَائِمٌ وَهُوَ اسْتَقَاءَ مَنْ
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari (Nafi’)
dari (abdullah bin Umar) berkata: “Barangsiapa
muntah dengan sengaja saat sedang berpuasa, maka dia harus mengganti puasanya.
Dan barangsiapa tidak sengaja muntah, maka dia tidak wajib menggantinya”.
Hadist ini menunjukkan bahwa muntah tanpa disengaja
tidak membatalkan puasa berdasarkan sabda beliau, “… maka dia tidak wajib
menggantinya.” Karena ketiadaan qadha’ merupakan isyarat bahwa ibadah
tersebut sah. Sedangkan orang yang berusaha untuk muntah maka puasanya batal,
dan zhahir hadist ini mengisyaratkan bahwa ia wajib menggantinya/mengqadha’
walaupun tidak berhasil muntah berdasarkan perintah beliau untuk menggantinya.
Ibnu Al-Mundzir meriwayatkan adanya ijma’ yang mengatakan bahwa kesengajaan
untuk muntah membatalkan puasa.
4. Keluarnya mani secara sengaja
Melakukan segala sesuatu yang dapat merangsang
birahi hingga sampai keluar air mani menyebabkan puasa menjadi batal. Seperti
melakukan onani/masturbasi, atau melihat gambar porno baik media cetak maupun
film dan internet. Karena itu sebaiknya bagi orang yang berpuasa menghindari
semua hal yang merangsang birahi karena dapat membatalkan puasa. Tetapi bila
keluar mani dengan sendirinya seperti bermimpi, maka puasanya tidak batal,
karena bukan disengaja atau bukan kehendaknya. Sabda Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam:
ثَلَاثَةٍ عَنْ الْقَلَمُ
رُفِعَ قَالَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى اللَّهِ رَسُولَ أَنَّ عَائِشَةَ عَنْ
يَعْقِلَ حَتَّى الصَّبِيِّ
وَعَنْ يَبْرَأَ حَتَّى الْمُبْتَلَى وَعَنْ يَسْتَيْقِظَ حَتَّى النَّائِمِ عَنْ
Dari Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: “pena diangkat (tidak terkena dosa) dari tiga hal, orang yang tidur
hingga ia bangun dari orang gila hingga hilang penyakit gilanya, dan seorang
anak kecil hingga ia berakal”. (HR Ahmad) .
5. Mendapat Haidh atau Nifas
Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
وَعَنْ أَبِي
سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رضيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رسُولُ الله صلى الله عليه
وسلم:
أَلَيْسَ إِذا حَاضَتِ المَرْأَةُ لَمْ تُصَلِّ
وَلَمْ تَصُمْ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Said Al-Khudhri Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda, Bukankah bila wanita mendapat haidh, dia tidak boleh
shalat dan puasa?
Wanita yang sedang berpuasa lalu tiba-tiba mendapat
haidh, maka dengan demikian menjadikan puasanya batal. Meski kejadian itu
menjelang terbenamnya matahari. Begitu juga wanita yang mendapat darah nifas,
maka puasanya batal. Ini adalah merupakan ijma’ para ulama Islam atas masalah
wanita yang mendapat haidh atau nifas saat sedang berpuasa.
6. Keluar dari Agama Islam (Murtad)
Seseorang yang sedang berpuasa, lalu keluar dari
agama Islam / murtad, maka dengan demikian puasanya menjadi batal. Dan bila
hari itu juga dia kembali lagi masuk Islam, puasanya sudah batal. Dia wajib
mengqadha puasanya hari itu meski belum sempat makan atau minum. Firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala,
Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan
kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan),
niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang
merugi. (QS Az-Zumar : 65)
E. Orang
yang dibolehkan meninggalkan Puasa Wajib
Dalam keadaan
tertentu, syariah membolehkan seseorang tidak berpuasa. Hal ini adalah bentuk
keringanan yang Allah berikan kepada umat Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam. Bila salah satu dari keadaan tertentu itu terjadi, maka bolehlah
seseorang meninggalkan kewajiban puasa. Adapun kondisi yang diperbolehkan
seseorang meninggalkan puasa wajib adalah sebagai berikut:
1.
Dalam keadaan safar (perjalanan)
Seseorang yang sedang dalam perjalanan, dibolehkan
untuk tidak berpuasa. Keringanan ini didasari oleh Firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala :
“Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam
perjalanan maka menggantinya di hari lain (QS Al-Baqarah : 184).
Sedangkan batasan jarak minimal untuk safar yang
dibolehkan berbuka adalah jarak dibolehkannya qashar dalam shalat, yaitu 47 mil
atau 89 km. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa perjalanan itu telah dimulai
sebelum mulai berpuasa (waktu shubuh). Jadi bila melakukan perjalanan mulai
lepas Maghrib hingga keesokan harinya, bolehlah dia tidak puasa pada esok
harinya itu.
Namun ketentuan ini tidak secara ijma’ disepakati,
karena ada sebagian pendapat lainnya yang tidak mensyaratkan jarak sejauh itu
untuk membolehkan berbuka. Misalnya Abu Hanifah yang mengatakan bahwa jaraknya
selama perjalanan tiga hari tiga malam. Sebagian mengatakan jarak perjalanan
dua hari. Bahkan ada yang juga mengatakan tidak perlu jarak minimal seperti
yang dikatakan Ibnul Qayyim.
Meski berbuka dibolehkan, tetapi harus dilihat
kondisi berat ringannya. Bila perjalanan itu tidak memberatkan, maka meneruskan
puasa lebih utama. Dan sebaliknya, bila perjalanan itu memang sangat berat,
maka berbuka lebih utama. Berbeda dengan keringanan dalam menjama’ dan
mengqashar shalat dimana menjama’ dan mengqashar lebih utama, maka dalam puasa
harus dilihat kondisinya. Meski dibolehkan berbuka, sesungguhnya seseorang
tetap wajib menggantinya di hari lain. Jadi bila tidak terlalu terpaksa,
sebaiknya tidak berbuka. Hal ini dijelaskan dalam hadist Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam,
Dari Aisyah
radhiallahu 'anha, bahwasanya; Hamzah
bin Amru Al Aslami bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Wahai Rasulullah, saya seorang
laki-laki yang kuat berpuasa dalam perjalanan. Apakah aku harus berpuasa dalam
perjalanan?" Beliau menjawab:
"Berpuasalah jika kamu mau, dan berbukalah jika kamu ingin berbuka." (HR.
Muslim)
2.
Sakit
Orang yang sakit dan khawatir bila berpuasa akan
menyebabkan bertambah sakit atau kesembuhannya akan terhambat, maka dibolehkan
berbuka puasa. Bagi orang yang sakit dan masih punya harapan sembuh dan sehat,
maka puasa yang hilang harus diganti setelah sembuhnya nanti. Sedangkan bagi
orang yang sakit tapi tidak sembuh-sembuh atau kecil kemungkinannya untuk
sembuh, maka cukup dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin
sejumlah hari yang ditinggalkan.
3.
Hamil dan Menyusui
Wanita yang hamil atau menyusui di bulan Ramadhan
boleh tidak berpuasa, namun wajib menggantinya di hari lain. Ada beberapa pendapat
berkaitan dengan hukum wanita yang haidh dan menyusui dalam kewajiban mengganti
puasa yang ditinggalkan. Pertama, mereka digolongkan kepada orang sakit.
Sehingga boleh tidak puasa dengan kewajiban mengqadha’ (mengganti) di hari
lain.
Kedua, mereka digolongkan kepada orang yang tidak
kuat/mampu. Sehingga mereka dibolehkan tidak puasa dengan kewajiban membayar
fidyah. Ketiga, mereka digolongkan kepada keduanya sekaligus yaitu sebagai
orang sakit dan orang yang tidak mampu, karena itu selain wajib mengqadha’,
mereka wajib membayar fidyah. Pendapat terakhir ini didukung oleh Imam
As-Syafi’i.
Namun ada juga para ulama yang memilah sesuai
dengan motivasi berbukanya. Bila motivasi tidak puasanya karena khawatir akan
kesesahatan / kekuatan dirinya sendiri, bukan bayinya, maka cukup mengganti
dengan puasa saja. Tetapi bila kekhawatirannya juga berkait dengan anak yang
dikandungnya atau bayi yang disusuinya, maka selain mengganti dengan puasa,
juga membayar fidyah.
4.
Lanjut Usia
Orang yang lanjut usia dan tidak kuat lagi untuk
berpuasa, maka tidak wajib lagi berpuasa. Hanya saja dia wajib membayar fidyah,
yaitu memberi makan fakir miskin sejumlah hari yang ditinggalkannya itu. Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Dan bagi
orang yang tidak kuat/mampu, wajib bagi mereka membayar fidyah yaitu memberi
makan orang miskin.(QS
Al-Baqarah:184).
DAFTAR PUSTAKA
Al
Qur’an al Karim
Abdul
Azhim bin Badawi Al Khalafi. Al Wajiz. Jakarta : Pustaka Assunah, 2008.
Abu
Bakr Al Jazairi. Ensiklopedi Muslim. Jakarta : Darul Falah, 2008.
A.
Hasan. Terjemah Bulughul Maram Ibnu Hajar
Al-’Asqalani. Bandung: CV
Penerbit Diponogoro, 2002.
Ibnu
Rusyd. Bidayatul Mujtahid. Jakarta : Pustaka Amani, 2007.
Muhammad
Abduh Tuasikal. Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat. http://www.rumaysho.com/.
2011.
Rendyadamf.
Hal-hal yang tidak membatalkan puasa
dianggap membatalkan puasa. https://rendyasylum.wordpress.com/2010/09/28/hal-hal-yang-tidak-membatalkan-puasa-dianggap-membatalkan-puasa/.
September 28, 2010.
Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani. Subul As-Salam
Syarah Bulughul Maram. Jakarta : Darus Sunnah Press, 2010.
Terima kasih artikelnya, salam kenal dari BLOG KABAR GURUKU juga BLOG SEKOLAH ANAK ISLAM yang berisi informasi seputar dunia pendidikan Islam, Info Sekolah, Sertifikasi, Tunjangan, Album sekolah, Pendidikan Anak Usia Dini, KB-TK, Hidayatullah. Juga memuat Cerpen Anak Sholeh, Hukum Islam tentang Poligami, Kontrversi Nikah Mutah, Artikel Ramadhan Membawa Berkah, Materi Pembelajaran PAUD, Seputar Opini Pendidikan Islam dan banyak yang lain. Inilah rangkuman isi Blog Sekolah Anak Islam spesial untuk saudara semua...
BalasHapusLOMBA BLOG !
BalasHapuspermisi, minat ikut lomba blog ?
Hello bloggers Indonesia! Dalam rangka menyambut Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 1436 H Refiza Souvenir menyelenggarakan blog competition bagi para bloggers. Tuliskan semua hal tentang souvenir Islami dan dapatkan hadiah menarik dari Refiza. . syarat dan ketentuan http://www.refiza.com/blogcompetition2015/