BAB I
JUAL BELI
A.
Pengertian
Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu
(yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’,
al-mubadah, dan at-tijarah.
Menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya,
antara lain :
Ø Menurut ulama Hanafiyah: [1])
Jual beli adalah ”pertukaran
harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
Ø Menurut Imam Nawawi[2])
dalam Al-Majmu’ :
Jual beli adalah ”pertukaran
harta dengan harta untuk kepemilikan.”
Ø Menurut Ibnu Qudamah[3])
dalam kitab Al-mugni ‘ :
Jual beli adalah ”pertukaran
harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.”
Pengertian lainnya Jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara
penjual (yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) dan pembeli (sebagai
pihak yang membayar/membeli barang yang dijual). Pada masa Rasullallah SAW
harga barang itu dibayar dengan mata uang yang terbuat dari emas (dinar) dan
mata uang yang terbuat dari perak (dirham).
B.
Landasan atau Dasar Hukum Jual Beli
Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini di syariatkan
berdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni :
1. Al Qur’an, yang mana Allah Swt berfirman
dalam surat Al-Baqarah, 2: 198 :
2. Sunnah Nabi, yang mengatakan:
”Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang paling
baik. Beliau menjawab, ’Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli
yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn
Rafi’)
Maksud mabrur dalam hadist di atas adalah jual-beli yang terhindar
dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.
3. Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa
manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain.
Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu,
harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur’an
dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi
tertentu, hukum jual beli itu bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan
makruh.
Berikut ini adalah contoh bagaimana hukum jual beli bisa berubah menjadi sunnah,
wajib, haram, atau makruh. Jual beli hukumnya sunnah, misalnya dalam jual
beli barang yang hukum menggunakan barang yang diperjual-belikan itu sunnah
seperti minyak wangi.
Jual beli hukumnya wajib, misalnya jika ada suatu ketika para
pedagang menimbun beras, sehingga stok beras sedikit dan mengakibatkan harganya
pun melambung tinggi. Maka pemerintah boleh memaksa para pedagang beras untuk
menjual beras yang ditimbunnya dengan harga sebelum terjadi pelonjakan harga.
Menurut Islam, para pedagang beras tersebut wajib menjual beras yang
ditimbun sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Jual beli hukumnya haram, misalnya jual beli yang tidak memenuhi
rukun dan syarat yang diperbolehkan dalam islam, juga mengandung unsur
penipuan.
Jual beli hukumnya makruh, apabila barang yang dijual-belikan itu
hukumnya makruh seperti rokok.
BAB II
RUKUN DAN
SYARAT JUAL BELI
Rukun dan syarat jual beli
adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual
belinya sah menurut syara’ (hukum Islam).
a.
Orang yang
melaksanakan akad jual beli (penjual dan pembeli).
Syarat-syarat yang harus
dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah :
1. Berakal, jual belinya orang gila atau rusak akalnya dianggap tidak sah.
2. Baliqh, jual belinya anak kecil yang
belum baliqh dihukumi tidak sah. Akan tetapi, jika anak itu sudah mumayyiz (mampu
membedakan baik atau buru), dibolehkan melakukan jual beli terhadap
barang-barang yang harganya murah seperti : Permen, Kue, Kerupuk.
3. Berhak menggunakan hartanya. Orang yang tidak berhak menggunakan harta milik
orang yang sangat bodoh(idiot) tidak sah jual belinya. Firman Allah ( Q.S.
An-Nisa’(4): 5):
b. Sigat atau Ucapan
Ijab dan Kabul.
Ulama fiqh sepakat, bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan
antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus
diwujudkan melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli). Adapun syarat-syarat ijab
kabul adalah :
1. Orang yang
mengucap ijab kabul telah akil
baliqh.
2. Kabul harus sesuai dengan ijab.
3. Ijab dan
kabul dilakukan dalam suatu majlis.
c. Barang yang
Diperjual-belikan
Barang yang diperjual-belikan harus memenuhi syarat-syarat yang diharuskan,
antara lain :
1. Barang yang
diperjual-belikan itu halal.
2. Barang itu ada
manfaatnya.
3. Barang itu ada
ditempat, atau tidakada tapi ada ditempat lain.
4. Barang itu
merupakan milik si penjual atau dibawah kekuasaanya.
5. Barang itu
hendaklah diketahuioleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya,
bentuknya dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya.
d. Nilai tukar
barang yang dijual (pada zaman modern sampai sekarang ini berupa uang).
Adapun syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual
itu adalah :
1. Harga jual
disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
2. Nilai tukar
barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara
hukum, misalnya pembayaran menggunakan kartu kredit.
3. Apabila jual
beli dilakukan secara barter atau Al-muqayadah (nilai tukar barang yang
dijual bukan berupa uang tetapi berupa uang.
BAB III
HAL-HAL YANG TERLARANG DALAM JUAL BELI
Jual beli
dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain ditinjau dari segi sah
atau tidak sah dan terlarang atau tidak terlarang.
1. Jual beli
yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan
syarat-syaratnya (seperti yang telah dijelaskan pada halaman sebelum ini).
2. Jual beli
yang terlarang dan tidak sah (bathil) yaitu jual beli yang salah satu rukun
atau syaratnya tidak terpenuhi atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak
disyariatkan (disesuaikan dengan ajaran islam).
3. Jual beli
yang sah tapi terlarang (fasid). Jual beli ini hukumnya sah, tidak
membatalkan akad jual beli, tetapi dilarang oleh Islam karena sebab-sebab lain.
Berkenan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam,
Wahbah Al-Juhaili meringkasnya sebagai berikut [4]):
Ø Terlarang
Sebab Ahliah (Ahli Akad)
Ulama telah
sepakat bahwa jual beli di kategorikan sah apabila dilakukan oleh orang yang
baliqh, berakal, dapat memilih. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya
sebagai berikut :
a. Jual beli yang dilakukan oleh orang gila.
b. Jual beli yang dilakukan oleh anak kecil.
Terlarang dikarenakan anak kecil belum
cukup dewasa untuk mengetahui perihal tentang jual beli.
c. Jual beli yang dilakukan oleh orang buta.
Jual beli ini
terlarang karena ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan barang yang
baik.
d. Jual beli terpaksa
Terlarang dikarenakan tidak adanya unsur
kerelaan antara penjual atau pun pembeli dalam akad.
e.
Jual beli fudhul
Adalah jual beli
milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.
f.
Jual beli yang terhalang
Terhalang disini
artinya karena bangkrut, kebodohan, atau pun sakit.
g. Jual beli malja’
Adalah jual beli
orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim.
Ø Terlarang
Sebab Shigat
Jual beli yang
antara ijab dan kabulnya tidak ada kesesuaian maka dipandang tidak sah.
Beberapa jual beli yang termasuk terlarang sebab shiqat sebagai berikut :
a. Jual beli
Mu’athah
Jual beli yang telah
disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi
tidak memakai ijab kabul.
b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan
Dikarenakan kabul yang melebihi
tempat, akad tersebut dipandang tidak sah, sperti surat tidak sampai ke tangan
orang yang dimaksudkan.
c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan
Apabila isyarat dan tulisan tidak dipahami dan tulisannya
jelek (tidak dapat dibaca), maka akad tidak sah.
d. Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad
Terlarang karena tidak memenuhi syarat in’iqad
(terjadinya akad).
e.
Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan kabul.
f.
Jual beli munjiz
Adalah yang
dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang.
Ø
Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang jualan)
Ma’qud alaih adalah harta
yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi
’ (barang jualan) dan harga.
Tetapi ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama, tetapi
diperselisihkan, antara lain :
a. Jual beli benda yang tidak ada atau
dikhwatirkan tidak ada
b. Jual beli yang tidak dapat diserahkan
Contohnya jual beli burung yang ada di
udara, dan ikan yang ada di dalam air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
c. Jual beli gharar
Adalah jual beli barang yang menganung
unsur menipu (gharar).
d. Jual beli barang yang najis dan yang terkena
najis
Contohnya : Jual beli bangkai, babi, dll.
e.
Jual beli air
f.
Jual beli barang yang tidak jelas (majhul )
Terlarang karenakan
akan mendatangkan pertentangan di antara manusia.
g.
Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad (gaib),
tidak dapat dilihat
h.
Jual beli sesuatu sebelum di pegang
i.
Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
Apabila belum
terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah, tetapi belum matang, akadnya fasid.
Ø
Terlarang Sebab Syara’
Jenis jual beli yang
dipermasalahkan sebab syara’ nya diantaranya adalah :
a. Jual beli riba
b. Jual beli dengan uang dari barang yag
diharamkan
Contohnya jual beli khamar, anjing,
bangkai.
c. Jual beli barang dari hasil pencegatan barang
Yakni mencegat pedagang dalam
perjalanannya menuju tempat yang di tuju sehingga orang yang mencegat barang
itu mendapatkan keuntungan.
d. Jual beli waktu adzan jum’at
Terlarang dikarena bagi laki-laki yang
melakukan transaksi jual beli dapat mengganggukan aktifitas kewajibannya
sebagai muslim dalam mengerjakan shalat jum’at.
e.
Jual beli anggur untuk dijadikan khamar
f.
Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain
g.
Jual beli hewan ternak yang masih dikandung oleh
induknya.
BAB IV
KHIYAR
A. Pengertian
Menurut Ulama
Fiqh[5]),
khiyar adalah “Suatu
keadaan yang menyebabkan orang yang akad (aqid) memiliki hak untuk memutuskan
akadnya, yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa
khiyar syarat, ‘aib atau ru’yah, atau hendaklah memilih di antara dua barang
jika khiyar ta’yin.”
Khiyar adalah
hak memilih bagi si penjual dan si pembeli untuk meneruskan jual belinya atau
membatalkan karena adanya sesuatu hal.
B. Macam-macam khiyar yang kita kenal :
1. Khiyar
syarat
Ø
Pengertian
Menurut Ulama
fiqh5), Khiyar syarat adalah “Suatu keadaan yang
membolehkan salah seorang yang akad atau masing-masing yang akad atau selain
kedua pihak yang akad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan akad selama
waktu yang diientukan.” Contohnya : si penjual berkata kepada si pembeli, “Saya
jual barang ini kepadamu seharga Rp.100.000,- dengan syarat boleh khiyar
selama tiga hari tiga malam.”
Ø khiyar
masyru’ (disyariatkan) dan khiyar rusak
1. khiyar
masyru’ (disyariatkan)
adalah khiyar
yang ditetapkan batasan waktunya. Contohnya : si penjual berkata kepada si
pembeli, “Saya jual barang ini kepadamu seharga Rp.100.000,- dengan syarat
boleh khiyar selama tiga hari tiga malam.”
2. khiyar rusak
khiyar rusak yaitu khiyar
yang batasan waktunya tidak diketahui atau rusak, dan perbuatan ini mengandung
unsur jahalah (ketidak
jelasan. Contohnya : “Saya beli barang ini dengan syarat saya khiyar
selamanya.”
Ø Batasan
khiyar masyru’
Adapun batas khiyar
itu adalah tidak boleh lebih dari tiga hari. Dan beberapa dari para ulama
berpendapat bahwa[6])
khiyar yang melebihi tiga hari membatalkan jual beli, sedangkan bila
kurang dari tiga hari adalah rukhshah
(keringan) bagi penjual.
2. Khiyar
majlis
Ø
Pengertian
Menurut Ulama
fiqh[7]), “Hak
bagi semua pihak yang melakukan akad untuk membatalkan akad selagi masih berada
di tempat akad dan kedua pihak belum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga
muncul kelaziman dalam akad.”
BAB V
JUAL BELI AS-SALAM
A. Pengertian
As-salam
atau As-shalaf adalah
pembayaran di muka dan penyerahan barang di kemudian hari, yang terdefinisi
oleh para fuqaha sebagai ”akad jual beli atas sesuatu yang disebutkan
kriterianya dalam akad, dan yang dijanjikan akan diserahkan pada waktunya yang
ditentukan nanti kepada pembeli, dengan bayaran yang diserahkan pada saat
transaksi”. Firman Allah Swt dalam surat al-baqarah ayat 282 yang membolehkan transaksi ini :
=
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai umtuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”(Q.S Al-Baqarah (2) :282)
B. Syarat sah
transaksi model salam
1. Adanya
kepastian sifat-sifat barang yang ditransaksikan.
2. Menyebut
jenis dan macam barang yang ditransaksikan dengan akad salam.
3. Disebutkan
ukuran barang yang ditransaksikan dengan akad salam itu.
4. Disebutkan
waktu penyerahan barang.
5. Agar
barang yang ditransakasikan salam itu
biasanya tersedia pada waktu penyerahan barang seperti yang ditetapkan,
sehingga sapat diserahkan pada waktunya.
6. Agar
harga pembeliannya sudah diterima secara sempurna dan diketahui jumlahnya pada
saat akad/transaksi.
7. Agar barang yang ditransaksikan
itu bukan sesuatu yang tertentu, tapi hendaknya ia bentuk semacam utang yang
tertanggung.
Transaksi melalui hal seperti ini
dibolehkan karena salah satu kemudahan yang diberikan oleh syarat islam dan
sikap toleransinya. karena juga dalam muamalah ini terdapat kemudahan bagi
manusia ini terdapat kemudahan bagi manusia dan mewujudkan kemaslahatan mereka,
sambil bersihnya hal itu dari riba dan seluruh hal yang dilarang. Maka, segala
puji bagi Allah atas segala kemudahan yang dianugerahkan-Nya.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sesuatu hal yang sering kita lupakan
menjadi hal yang dapat merusak nilai amalan yang kita lakukan jual beli, jadi
hal upaya tentang penulisan ini dilakukan untuk memberikan informasi tentang
pengertian, dasar hukum jual beli, rukun dan syarat jual beli, hal yang
terlarang dalam jual beli, khiyar, dan jual beli As-salam. Agar terciptanya
lingkungan ekonomi perdagangan islam yang sehat dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk itu penulis menyimpulkan bahwa jual beli islam adalah suatu kegiatan yang
bersifat kepentingan umum, juga menjadi tolak ukur untuk mensejahterakan
kehidupan rakyat terutama dalam bidang perekonomian. Karena manusia ini adalah
makhluk sosial, jadi diperlukan kegiatan jual beli ini juga seluk beluk
mengenai jual beli islam ini sudah dapat dilihat dalam bab-bab makalah ini.
B. Saran
Penulisan makalah ini menunjukkan
hal yang berkaitan dengan apa-apa saja mengenai hukum-hukum, tata cara
pelaksanaan yang terkait tentang hubungan jual beli yang baik antara penjual
juga pembeli, sehingga dapat mendorong munculnya penulisan makalah yang sejenis
dalam pemberi informasi yang lebih baik lagi tentang hal-hal yang berkaitan
dengan hubungan jual beli.
DAFTAR PUSTAKA
Rahmat Syafe’i MA, Prof., Dr., 2004, Fiqih
Muamalah, Pustaka Setia, Bandung .
Wahbah
Al-Juhaili, 1989, Al-fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Dar Al-Fikr.
Rambe,
Nawawiah, Drs, 1994, Fiqih Islam, Duta Pahala, Jakarta .
Syamsuri, Drs, H., 2005, Pendidikan
Agama Islam SMA Jilid 2 Untuk Kelas XI, Erlangga, Jakarta .
[1] ) Alaudin Al-Kasyani, Badai’ Ash-Shanai’fi
Tartib Asy-Syarai’. Juz V, Hlm. 133
[2] ) Muhammad
Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj. Juz II, hlm. 2
[3] ) Ibnu Qudamah, Al-Mugni.
Juz III, hlm. 559
[4] ) Ibid, hlm.
500-515
[5] ) Wahbah Al-Juhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa adillatuhu, juz
IV, hlm. 250
[6] )
Al-Kasani, Op.Cit., juz V, hlm. 174
[7] ) Al-Juahaili, Op.Cit., juz
IV, hlm. 250
Tidak ada komentar:
Posting Komentar